Jembatan Selat Sunda (JSS) menjadi isu yang hot di pemerintahan khususnya pada Tim 7 yang terdiri dari Menteri Pekerjaan Umum dengan anggota Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perindustrian, Sekretaris Kabinet, dan Kepala Bappenas. Tim 7 tersebut ditunjuk oleh Presiden SBY untuk membahas perencanaan pembangunan JSS.
Apa sih JSS?JSS adaah jembatan yang dapat menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera. Jembatan yang akan menghubungkan kedua pulau tersebut dibangun pada provinsi Banten dan provinsi Sumatera Selatan.
Pada saat ini, masyarakat yang ingin menyeberang laut dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera harus menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Merak ke Pelabuhan Bakaheuni, demikian sebaliknya. Memang, pada saat ini banya terjadi antrian panjang di pelabuhan tersebut disebabkan minimnya jumlah dermaga yang beroperasi, jumlah kapal yang tidak memadai dan tentunya kecepatan kapal yang cukup lemot mengingat umurnya yang sudah tua.
JSS diharapkan dapat mengeliminasi permasalahan kemacetan tersebut dan memperlancar arus barang dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera.
Berikut ini adalah gambar JSS yang pernah dimuat di Kompas:
Berdasarkan informasi dari perancang JSS, yakni Prof. Wiratman Wangsadinata, tersebut, dikatakan bahwa jembatan tersebut akan memiliki ketahanan terhadap gempa hingga mencapai 9 skala richter.
Perlu diketahui bahwa jembatan tersebut merupakan inisiasi dari Tomy Winata (Pemilik Bank Artha Graha) yang kemudian menggandeng Pemerintah Banten dan Lampung membentuk konsorsium PT Graha Banten Lampung Sejahtera (GBLS).
Berdasarkan informasi terakhir dari media massa, pembangunan JSS tersebut membutuhkan dana minimal sebesar Rp200 Triliun dengan jangka waktu pembangunan selama 10 Tahun. (Nilai Proyek Jembatan Selat Sunda)
Jembatan ini digadang-gadang akan menjadi proyek besar yang akan sangat bermanfaat terhadap perekonomian Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera.
Mengutip pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian, yang juga tergabung dalam tim 7 tersebut diatas, Hatta Radjasa bahwa:
“Keberadaan kawasan Jembatan Selat Sunda ini menjadi sangat strategis bagi tidak hanya dua pulau ini, tapi dalam arti keseluruhan ekonomi Indonesia. Dari Medan, dari Aceh itu sampai ke Lombok truknya melalui penyebrangan Feri mengalirkan berbagai macam komoditi dan logistik-logistik yang merupakan bagian daripada kebutuhan masyarakat untuk pembangunan ekonomi secara keseluruhan,”
Pertanyaannya adalah: apakah benar bahwa benefit atas pembangunan JSS lebih besar jika dibandingkan dengan cost atas pembangunan JSS tersebut?
Berikut adalah paparan dan pendapat saya pribadi ada tiga hal utama yang perlu diperhitungkan oleh pemerintah dalam pembangunan JSS yakni kelayakan keuangan, permasalahan utama transportasi laut indonesia. dan risiko.
Pertama, mari kita lihat siapakah pengguna utama dari JSS. Pengguna utama JSS tentunya adalah pengguna kapal laut yang menyeberang dari pulau Jawa ke pulau Sumatera. Terbatas pada data yang ada di situs resmi indonesiaferry.co.id disampaikan bahwa rata-rata jumlah kendaraan mobil (per hari) yang berangkat dari pelabuhan Merak adalah sebanyak 130 bus, 1400 mobil dan 400 motor.
Dengan adanya jembatan selat sunda tersebut saya mengasumsikan secara optimistis (sangat optimis =D) bahwa terdapat peningkatan sebanyak 5x lipat atas trafik tersebut sehingga nantinya akan ada 650 bus, 7000 mobil dan 2000 motor yang melewati pelabuhan Merak menuju pelabuhan Bakaheuni.
Sedangkan dari pelabuhan Bakaheuni menuju pelabuhan Merak saya juga mengasumsikan jumlah kendaraan yang sama sehingga total rata-rata kendaraan yang melewati JSS baik dari maupun menuju pelabuhan Merak adalah sebagai berikut:
Kendaraan tersebutlah sumber pemasukan utama dari JSS selain nantinya akan ada iklan, penyewaan lahan pada ujung jembatan maupun pendapatan lainnya. Namun saya yakin pastinya jumlahnya akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pemasukan utama dari kendaraan yang melewati jembatan tersebut.
Untuk sebuah jembatan yang dibangun dengan nilai proyek sebesar Rp200 Triliun tentunya saya berharap akan ada penghasilan atas jembatan tersebut. Estimasi saya sebagai pemilik jembatan tentunya jembatan tersebut harus memberikan return yang wajar dan mampu menutupi biaya operasional yang timbul.
Saya mengasumsikan bahwa JSS harus dapat memberikan return sebesar 8% per tahun yang terdiri dari keuntungan (margin) sebesar 6% dan biaya operasional, biaya asuransi, biaya perawatan jembatan dengan total sebesar 2% per tahunnya.
Dengan perhitungan yang sangat sederhana tersebut diatas, berarti minimal JSS harus dapat menghasilkan minimal sebesar Rp16 Triliun per Tahun (8% dari investasi awal senilai Rp200 Triliun).
Untuk memudahkan perhitungan diatas, saya tidak memasukkan perhitungan pengembalian pokok dari biaya pembangunan JSS tersebut
Dengan penghasilan minimal sebesar Rp16 Triliun per tahunnya maka biaya yang harus dikenakan terhadap kendaraan yang harus melewati JSS adalah sebagai berikut:
Dengan return tersebut diatas maka per kendaraan yang melewati JSS harus dikenakan biaya sebesar Rp2.271.275. Sangat mahal!
Kedua, Lampung ataupun Palembang bukan merupakan daerah dengan penghasil yang terbesar di pulau Sumatera. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik bahwa, 5 (lima) pelabuhan terbesar di Indonesia adalah Medan, Jakarta, Surabaya, Balikpapan dan Makasar.
Disini saya ingin menyatakan bahwa pembangunan JSS yang sangat mahal hanyalah merupakan solusi parsial yang bersifat penyelesaian masalah untuk transportasi dari Jawa Barat ke Sumatera Selatan. JSS sama sekali tidak menyelesaikan permasalahan transportasi Jawa – Sumatera. Untuk transportasi darat dari Medan – Jakarta saja memakan waktu 42 jam dibandingkan dengan transportasi menggunakan kapal yang memakan waktu 48 jam. Sedikit lebih lama tapi pastinya jauh lebih aman dibandingkan jika kita harus mengendarai Truk yang membawa muatan kontainer sebesar 40 feet (12 meter) dan harus melalui jalanan Sumatera yang penuh dengan kelokan dan belum sepenuhnya mulus.
Ketiga, Risiko. Memang benar dikatakan bahwa JSS dapat menahan gempa sampai dengan 9 skala richter dengan sifat gempa seismik (getaran) dan bukan patahan (tektonik). Perlu diingat bahwa JSS ini memiliki panjang mencapai 30 Km (yang pastinya semakin panjang sebuah jembatan maka semakin berisiko), berada di perbatasan Samudera, dan lokasinya dekat dengan Anak Gunung Krakatau yang bersifat aktif. Risiko kerusakan ataupun terjadinya patahan pada jembatan ini sangat tinggi jika sewaktu-waktu terjadi gempa tektonik yang mengakibatkan perubahan pada struktur tanah di sekitar lokasi jembatan.
Dari tiga hal tersebut diatas saya berharap agar JSS tersebut tidak jadi dibangun sampai dengan saat yang tidak ditentukan.
Menurut saya, solusi integral untuk permasalahan transportasi di Indonesia bukanlah pembangunan JSS tapi justru penguatan armada laut dan pelabuhan Indonesia.
JSS tidak menyelesaikan permasalahan integral transportasi laut yang masih menimbulkan tingginya biaya transportasi laut di Indonesia sebagai contoh:
1. Container shipment cost:
–> Padang-Jakarta = $600
–> Jakarta Singapura = $185
2. Lebih murah mengangkut jeruk dari China ke Jakarta ketimbang dari Pontianak ke Jakarta.
3. Harga semen di Papua 20 kali lebih mahal dari di Jakarta karena mahalnya angkutan laut.Sumber: presentasi Presiden Direktur Pelindo – R.J. Lino (2010)
Daripada Rp200 Triliun digunakan untuk membangun JSS yang pengembaliannya diragukan tersebut, saya justru ingin melihat pemerintah mempertimbangkan nasihat dari Dr. Daniel Rosyid (Dewan Pendidikan Jawa Timur, Pusat Kelautan LPPM ITS, Dewan Pakar Jawa Timur) yakni mempertimbangkan untuk membeli kapal Ferry Ro-Ro dan Demaga yang canggih untuk dapat menyelesaikan permasalahan pelabuhan Merak – pelabuhan Bakaheuni bahkan untuk menghubungkan seluruh pelabuhan di Indonesia.
Pada intinya, Prof. Daniel Rosyid menyarankan untuk tidak melihat laut sebagai hambatan sehingga dibutuhkan Jembatan yang bersifat statis untuk menyebranginya namun justru dengan laut tersebut dibutuhkan solusi yang dinamis yakni dengan menggunakan kapal. Tentunya dengan kapal dan pelabuhan yang berteknologi tinggi sehingga akan menjadi solusi yang integral untuk kondisi negara kita yang bersifat kepulauan.
http://danielrosyid.com/jembatan-selat-sunda-blunder-konsep-dan-teknomik.html
Kalau toh ada yang menyatakan bahwa JSS ini adalah solusi yang mutlak harus ada dan tidak ada risiko atas pembangunan JSS, serta tenologi yang ada sudah memadai untuk pembangunan tersebut, kita harus tetap mengingat bahwa JSS ini sangat mahal.
Saya ingin menganalogikan JSS dengan pesawat Concorde.
Masih ingat kan dengan pesawat Concorde? Ya, pesawat ini adalah pesawat transportasi komersil dengan kecepatan melebihi 2x kecepatan suara (mencapai 2100 km/jam). Pada akhirnya, toh pesawat ini harus lengser per tahun 2003 setelah terbang selama 27 tahun dan pensiun karena tidak layak dari sisi kelayakan keuangan (proyek Concorde dibiayai secara subsidi oleh Prancis dan Inggris).
Memang benar secara teknologi JSS dapat dibangun tapi apakah jembatan itu worth it untuk dibangun? itulah permasalahan utamanya.
Bisa jadi bahwa ada yang memiliki ego untuk menunjukkan bahwa dirinya jago sebagai arsitek, atau dirinya jago dalam pembangunan bangsa ini padahal sebenarnya justru dapat merugikan keuangan negara…
Selain itu, saya ingin bergosip sedikit tentang JSS ini. Hehehe..
Satu Jembatan yang menghubungkan dua pulau, karena concavity permanen yang terbentuk oleh jembatan ini, hanya akan menguntungkan kawasan kaki-kaki jembatan saja. Para spekulan tanah dan tuan tanah yang menguasai kawasan kaki jembatan akan paling diuntungkan. Nah siapakah yang kira-kira menjadi spekulan tersebut? Apakah inisiator proyek? Who knows! Hehehe.. =D
Jales Veva Jaya Mahe (Di laut kita jaya) !
[…] JSS1 […]
Ya mudah-mudahan aja terwujud dengan baik, supaya bisa lebih menghubungkan Jawa dan Sumatra, khususnya Jawa Barat dan Sumatra. 🙂