Seringkali kita melihat dan mendengar adanya perdebatan mengenai klaim hasil keberhasilan pembangunan secara fisik oleh masing-masing era pemerintah. Saling klaim ini terjadi tidak hanya di pemerintahan pusat, namun juga di pemerintah daerah. Saling klaim tersebut misalnya: Jokowi hanya gunting pita, SBY yang membangun atau Daftar warisan Ahok yang diresmikan Anies – Sandi. Jadi, benarkah argumen atas berita tersebut? Mari kita coba bahas secara ilmiah.

Pembangunan fisik oleh pemerintah umumnya diukur dari keberhasilan pembangunan sarana prasarana dan infrastruktur. Hal ini jauh lebih mudah diukur dibandingkan dengan pembangunan non-fisik, misalnya pendidikan mental, peningkatan skill dan keterampilan sumber daya manusia, penurunan pengangguran, dan lainnya. Sarana prasarana dan infrastruktur dapat dihitung baik secara jumlah maupun secara anggaran. Dari sisi jumlah misalnya pembangunan 100 km jalan tol atau peningkatan anggaran infrastruktur sebesar Rp300 Triliun. Nah, kembali ke topik kita. Gimana sih cara untuk menilai era atau pemerintahan jaman siapa yang berhasil mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia?

Untuk dapat menilai hal tersebut, kita perlu ketahui nature bisnis proyek pemerintah. Proyek pemerintah, khususnya infrastruktur skala besar umumnya adalah proyek yang multi – years (lebih dari satu tahun). Kalau proyek kecil yang sifatnya harus selesai di tahun berjalan, sudah jelas lah ya siapa yang membangun dan berhak mengklaim keberhasilannya. Proyek dengan jangka waktu lebih dari satu tahun, misal 5 tahun, yang umumnya menjadi perdebatan terkait dengan saling klaim antar pendukung partai politik, pendukung Gubernur, atau pendukung Presiden. Hal ini terjadi karena proyek tersebut dikerjakan oleh era kepemimpinan yang berbeda.

Argumen yang dapat digunakan untuk mengklaim keberhasilan tersebut antara lain adalah progres pengerjaan proyek atau realisasi anggaran. Kontraktor yang mengerjakan proyek pemerintah dibayar sesuai dengan jangka waktu dan realisasi proyek yang berhasil dikerjakan. Dalam hal ini, kontraktor akan dibayar sekian rupiah apabila mereka berhasil mengerjakan proyek sampai tahap tertentu. Yang membayar? ya pemerintah sebagai pemilik proyek. Uangnya dari mana? ya dari penerimaan negara (pajak maupun non-pajak) ditambah dengan hutang sebagaimana tercantum di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

So, menurut saya pribadi, untuk menengahi argumen dan perdebatan masing-masing pendukung, terlebih dahulu kita perlu mencari informasi mengenai realisasi pengerjaan proyek pemerintah di era sebelumnya. Progres pengerjaan proyek umumnya digambarkan dalam satu chart yang biasa disebut dengan S – Curve atau Kurva S. Kurva S tersebut merupakan tools umum yang dapat digunakan oleh manajer proyek dalam memonitor perkembangan proyek. Contoh gambar kurva S adalah sebagai berikut:

Kurva S - Proyek

Umumnya, progress pengerjaan proyek akan lambat di awal, cepat di tengah-tengah periode, dan kembali melambat pada proses finalisasi. Sebagai contoh, pengerjaan proyek jalan tol harus diinisialisasi dengan pembebasan tanah yang membutuhkan waktu cukup lama (bahkan bisa lebih lama dibandingkan dengan lama waktu pengerjaan jalan). Pada contoh di atas, progress pengerjaan proyek hanya sekitar 20% di 3 semester awal (Jun 13 s/d Dec 14) vs 40% pada 3 semester berikutnya (Dec 14 s/d Jun 16). Hal ini adalah salah satu penyebab lambatnya penyelesaian pengerjaan proyek di awal periode. Dengan mengetahui hal ini, sebenarnya kita bisa memperkirakan realisasi pengeluaran anggaran di masing-masing era pemerintahan. Tentunya, pengerjaan proyek satu dengan yang lain bisa saja berbeda, ada yang pengerjaannya dilakukan secara front loading (cepat di awal, lambat di akhir) atau back loading (lambat di awal, cepat di akhir). Macam-macam kurva S dapat dilihat di gambar berikut:

Kurva S - Shapes

Oleh karena itu, kita perlu kritis terhadap proyek pemerintah dengan skala besar apabila tidak dianggarkan dengan matang. Bisa saja pemerintahan sebelumnya mencanangkan atau memulai proyek besar yang sebenarnya tidak perlu dan justru memberikan beban terhadap APBN pada pemerintahan berikutnya, misalnya peningkatan hutang untuk pengerjaan proyek tersebut. Lebih parah lagi kalau ternyata proyeknya bersifat back loading. Jadi, menurut saya, realisasi pengerjaan proyek pemerintah dapat diklaim oleh siapa yang mengeluarkan dana lebih besar secara signifikan antara pemerintahan satu dengan lainnya.

Siapa yang memulai pengerjaan proyek tidak serta merta dapat mengklaim bahwa di era-nya pembangunan dapat terjadi. Hal tersebut dengan pertimbangan besarnya beban anggaran yang harus dikeluarkan di periode berikutnya. Misal kalau kamu harus mengeluarkan dana sebesar 80% untuk pembangunan jalan tol Surabaya – Mojokerto, masak kamu tidak boleh mengklaim bahwa kamu-lah yang berhasil menyelesaikan proyek ini? kalau orang lain yang memulai gunting pita prosesi pengerjaan proyek tapi hanya mengeluarkan dana sebesar 20% lalu mengklaim hal ini, gimana perasaanmu?

So, tanpa memihak siapapun, untuk dapat mengakhiri argumen pengerjaan pembangunan fisik oleh pemerintah dilakukan di era siapa, please cari dulu realisasi atau jadwal pengerjaan proyek oleh masing-masing era. Tidak perlu baper bahwa era sebelumnya memulai, era saat ini tinggal gunting pita. Karena kita harus tahu bagaimana tipikal pengerjaan proyeknya, front loading, common, atau back loading.

Kalau misalnya datanya ga ada gimana? udah lah, ga usah berdebat, mari kita nikmati sarana prasarana yang dibangun oleh pemerintah tanpa harus memilah milah siapa mengerjakan apa dan berapa =)

Selamat menikmati sarana dan prasarana umum yang ada. Jangan lupa bayar pajak =D

Advertisement