Inovasi proses bisnis peer-to-peer terjadi tidak hanya di bidang transportasi (Uber, Go-Jek, Grab), bidang pariwisata/hotel (airbnb.com) dan bidang lainnya, termasuk bidang keuangan.

Saat ini tersedia aplikasi atau platform bagi masyarakat untuk dapat memberi dan menerima pinjaman kepada orang lain secara online atau biasa disebut dengan peer-to-peer lending.

Beberapa aplikasi, website, atau platform yang menawarkan peer-to-peer lending adalah GandengTangan, Modalku, Investree, Crowdo, KoinWorks, Amartha, dan Mekar.

peer to peer lending indonesia

Masyarakat yang membutuhkan dana dapat melakukan posting mengenai kebutuhan dananya pada situs-situs tersebut dan kemudian masyarakat lainnya yang kelebihan dana dapat menempatkan dananya dengan imbalan bunga tertentu. Imbalan yang diberikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga deposito. Pada salah satu situs, suku bunga yang ditawarkan tercatat sebesar 11% – 17% per tahun, tergantung dengan risiko dan karakteristik dari peminjam dana.

Konsep peer-to-peer lending tersebut adalah sebagai berikut:

image

image courtesy of modalku.co.id

Secara teori, bisnis peer-to-peer ini memberikan keuntungan bagi pemberi dan penerima pinjaman. Bayangkan kredit konsumsi bagi PNS skema potong gaji yang merupakan kredit dengan risiko rendah, saat ini menerima pinjaman dengan suku bunga +16% per tahun dari perbankan. Tentunya kita juga mau dong melakukan penempatan dana dengan imbal hasil sebesar 16% per tahun tersebut.

Nah, disinilah peran dari penyedia jasa peer-to-peer lending tersebut. Tentunya, dengan adanya penyedia jasa tersebut, si PNS akan menawarkan diri untuk menerima suku bunga lebih rendah yang ditawarkan oleh bank, misal 14% per tahun. Misalnya bagi saya, tawaran sebesar 14% per tahun jauh lebih menarik dibandingkan dengan penempatan di reksadana pendapatan tetap yang hasilnya maksimal sebesar 11%. Tentunya, penyedia jasa akan meminta bagiannya sebagai margin dan biaya operasional, misalnya 1-2%. Overall, pemberi pinjaman akan menerima jumlah bunga yang ditawarkan oleh peminjam dikurangi dengan bagian penyedia jasa. Untuk kasus di atas, pemberi pinjaman akan menerima sekitar 12%-13% per tahun.

So, it benefits everyone. Peminjam untung karena menerima suku bunga lebih rendah daripada suku bunga bank, pemberi pinjaman untung karena menerima return yang menarik, dan penyedia jasa menerima untung atas transaksi yang terjadi. Menarik kan? Tentu. Tapi tunggu dulu.

Itu semua dengan asumsi bahwa layanan peer-to-peer dapat memberikan layanan yang terbaik dibanding layanan keuangan konvensional seperti bank.

Skala usaha

Sekedar informasi, jumlah kredit perbankan di Indonesia adalah sekitar Rp4.027 Triliun per Maret 2016. Jumlah yang cukup besar, meskipun masih lebih rendah dibandingkan total output yang sebesar Rp11.540 Triliun pada tahun 2015. Hal tersebut menunjukkan bahwa potensi penyaluran kredit yang masih tinggi.

Skala usaha peer-to-peer di Indonesia tergolong masih kecil, kalau tidak mau dibilang mikro. Pada saat ini, umumnya permintaan dana atau kredit pada bank dianalisis dan diproses dalam jangka waktu singkat. Bank juga telah memiliki prosedur pengelolaan kredit misalnya pengelolaan kredit oleh jaringan kantor bank, penata usahaan agunan, sistem akuntansi, dan penagihan yang memadai.

Pelaku usaha peer-to-peer lending harus dapat bersaing dalam memberikan analisis yang memadai (scoring), memenuhi permintaan dana, dan juga melakukan pengelolaan kredit dengan baik. Kalau misalnya permintaan dana yang diposting pada situs mereka, di-approve secara cepat tanpa analisis yang memadai, berakhir dengan jumlah kredit bermasalah dalam jumlah besar, maka pemberi pinjaman akan menghindari untuk memberikan pembiayaan pada penyedia jasa tersebut. Sedangkan kalau misalnya pemenuhan kredit dilakukan dalam jangka waktu lama (termasuk waktu untuk menunggu terpenuhinya dana pinjaman oleh peminjam) maka peminjam akan berfikir kembali untuk mengunggah kebutuhan dana ke situs penyedia jasa. Belum lagi untuk hal-hal lainnya.

So, untuk berkembang secara baik, usaha peer-to-peer ini membutuhkan modal dalam jumlah besar. Pelaku usaha peer-to-peer harus menyediakan banyak hal untuk dapat bersaing dengan lembaga keuangan. Selain itu, penetrasi pasar dari peer-to-peer yang masih rendah juga membutuhkan promosi dalam jumlah besar. Semua orang saat ini kenal bank, tapi peer-to-peer? PR besar. Promonya bisa jadi free interest rate? pinjaman tanpa bunga, mirip promo gojek yang dulunya free. Tapi tentunya itu butuh modal yang makin besar.

Perkiraan modalnya: diusulkan Rp20 s/d Rp50 Miliar. Wiuw.

Alternatif Investasi

Secara umum, pemberi pinjaman di usaha peer-to-peer lending ini adalah individu yang mencari keuntungan lebih tinggi dibandingkan dengan penempatan dana di perbankan pada umumnya. Masalahnya adalah ada bentuk investasi lain yang juga memberikan return yang lebih tinggi misalnya reksadana saham.

Oleh karena itu, usaha peer-to-peer lending harus pintar-pintar memposisikan dirinya di dunia investasi. Kalau misalnya tingkat returnnya turun yang utamanya disebabkan karena tingginya jumlah pinjaman bermasalah, hingga menjadi lebih rendah dibandingkan reksadana secara rata-rata, maka akan semakin sedikit masyarakat yang menempatkan dananya atau memberi pinjaman lewat platform tersebut.

Risk

Saya tidak perlu berpanjang lebar di sini. Bank yang ditopang dengan analis handal saja bisa salah dalam melakukan analisis (kredit bermasalah), apalagi masyarakat umum yang kurang memiliki pengetahuan di bidang pinjam meminjam.

Belum lagi kalau misalnya ternyata permohonan dana yang diposting di platform peer-to-peer ternyata hanyalah fraud yang disusun oleh penyedia jasa. Oleh karena itu, data historis, kredibilitas, dan reputasi dari penyedia jasa sangatlah penting. Intinya, everything yang dapat dibayangkan tentang risiko kredit pada umumnya ada pada jenis usaha peer-to-peer lending ini.

Infrastruktur

Infrastruktur disini tidak hanya infrastruktur teknologi, tetapi juga infrastruktur regulasi. Saat ini, tidak ada, saya ulang, tidak ada regulasi yang mengatur usaha peer-to-peer lending di Indonesia. Otoritas Lembaga Jasa Keuangan yaitu OJK saat ini sedang menyusun aturan tersebut dan sepertinya akan terbit pada akhir tahun ini. Setelah sebelumnya berjanji untuk menyelesaikan ketentuannya pada akhir tahun lalu. Tidak mudah menyusun ketentuan. Terlalu ketat, maka industri ini tidak akan tumbuh, terlalu longgar maka risikonya ada di masyarakat pemberi pinjaman. Saya tidak sok tahu membahas hal tersebut, karena selain kode etik, saya juga benar-benar tidak tahu poin-poin yang akan diatur. Tapi pastinya akan memberikan rasa aman bagi masyarakat yang memberi dan menerima pinjaman (untung belum termasuk lembaga keuangan yang diatur oleh OJK, soalnya kalau udah diatur ga bisa nulis tentang ini =P)

Kalau untuk di bidang teknologi, saya yakin kondisi di Indonesia sudah cukup memadai. Kalau ada hal yang masih kurang mungkin ketersediaan informasi keuangan debitur yang lengkap selain informasi dari Sistem Informasi Debitur (SID) yang tergolong masih basic.

————————————————————————–

Yak, itulah sekelumit hal tentang peer-to-peer lending. Usaha baru yang tergolong menarik bagi saya.

Ssttt, kalau memang ada yang ingin mengembangkan usaha seperti peer-to-peer lending tersebut di atas, sebenarnya ada produk perbankan syariah yang karakteristiknya sama dengan usaha tersebut: Mudharabah Muqayyadah (baca di sini poin I.2.2 Tabungan). Mudharabah Muqayyadah adalah salah satu bentuk simpanan di bank syariah yang nasabah penyimpannya dapat memilih untuk siapa dana tersebut diberikan dengan risiko ditanggung oleh nasabah. Similar? Mau mendirikan peer-to-peer secara individu, atau usaha lembaga keuangan pada umumnya (dengan return yang lebih baik namun juga lebih berisiko) atau mendirikan lembaga keuangan syariah dan mengembangkan teknologi serta produknya agar dapat menjalankan usaha bank dan peer-to-peer secara bersamaan?

Yang pasti, sekali lagi, teknologi akan berperan penting dalam semua sektor perekonomian, termasuk untuk sektor keuangan.

Selamat berpinjam-meminjam untuk kebaikan =)

Advertisement