Hari Sabtu sore kemarin, saya membaca tulisan-tulisan Bapak Dahlan Iskan (yang saya yakin dimuat juga di Jawa Pos tanggal 23 Februari 2015) mengenai Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep.

Sebelum melanjutkan untuk membaca tulisan ini, sudilah kiranya untuk membaca tulisan Bapak Dahlan Iskan tersebut diatas.

Pada intinya, Bapak Dahlan Iskan menyampaikan bahwa permasalahan pasokan daging sapi dan upaya untuk penggemukan sapi di Nusa Tenggara Timur, khususnya Pulau Sumba, adalah bukan karena tidak adanya jalur tol laut, tapi pada permasalahan sosial budaya dan keamanan. Dan hal ini baru diketahui oleh Bapak Dahlan Iskan, pada bulan Januari 2015 yang lalu.

Saya sedikit tersenyum. Kecut.

ternak-sumba-timur-10

Kecut, karena hal ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama dan saya sendiri mengetahui hal ini sudah sejak awal saya ditempatkan di wilayah NTT, tepatnya sekitar tahun 2011.

Sebelum saya melanjutkan lebih jauh, saya ingin memberitahukan sedikit mengenai geografis wilayah NTT. Wilayah NTT terdiri dari 3 (tiga) pulau besar yakni Pulau Flores, Pulau Timor (berbatasan dengan Timor Leste), dan Pulau Sumba.

NTT map 2

Pulau Sumba adalah pulau dengan padang rumput yang sangat-sangat amat luas. Sebenarnya padang rumput di NTT tersebar di seluruh pulau, namun kontur Pulau Sumba yang datar, dibandingkan dengan pulau lainnya, menyebabkan padang rumput di Pulau Sumba lebih potensial untuk digunakan sebagai tempat budidaya peternakan dibanding dengan pulau di NTT yang lainnya. Tidak ada potensi ekonomi seperti tambang di lokasi ini, usaha utama masyarakatnya adalah pertanian, perikanan dan peternakan.

Pulau Sumba adalah termasuk daerah remote area, jangankan remote-nya, TV pun susah anda temukan disana =P Infrastruktur menuju Pulau Sumba relatif terbatas. Dengan jalur udara, hanya ada 1-2 penerbangan setiap harinya, dengan jalur laut (dari Kupang) hanya ada 1 keberangkatan setiap 2 hari dengan waktu tempuh mencapai lebih dari 12 jam.

Jumlah Penduduk di Pulau Sumba adalah sekitar 650.000 dengan luas wilayah 10.710 km2. Kalau di rata-rata hanya ada sekitar 61 penduduk per km2 di Pulau Sumba. Sangat sepiiii!!

Kembali ke laptop.

Saya akhirnya memahami apa itu dampak sosial budaya, ekonomi, dan keamanan yang dulu diajarkan pada waktu SD dan SMP. Karena saya melihat contohnya sendiri yakni Pulau Sumba.

Jumlah penduduk yang sangat sedikit, lokasi geografis, potensi ekonomi, dan minimnya infrastruktur tersebut menyebabkan perekonomian di Pulau Sumba kurang berkembang.

Sedikitnya jumlah penduduk tersebut menyebabkan jumlah penjualan barang di Pulau Sumba relatif terbatas, itupun dengan disparitas harga barang yang cukup tinggi dibandingkan dengan Pulau Timor apalagi kalau dengan Pulau Jawa. Hal tersebut diperparah lagi dengan minimnya pasar pekerjaan di Pulau Sumba. Dapat dipastikan pemberi kerja terbesar di Pulau Sumba adalah Pemerintah dengan PNS-nya. Haha.

Yang ga diterima PNS? mayoritas menganggur atau memilih menjadi petani, peternak dan pelaut. Masalah kemudian muncul lagi. Dengan terbatasnya jumlah manusia, lokasi geografis dan infrastruktur, akhirnya pekerja di sektor pertanian, peternakan dan perikanan hampir seluruhya berusaha hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

La iya, kalau mau usaha banyak-banyak, mau dijual ke siapa lagi? wong disana juga banyak petani, peternak dan pelaut. Itu dari sisi ekonomi.

Permasalahan ekonomi ini diperparah dengan permasalahan sosial budaya dan keamanan. Terdapat budaya di seluruh NTT, tidak hanya di Pulau Sumba, yang mengharuskan mahar/mas kawin (di NTT biasa disebut bellis) yang sangat mahal jika dibandingkan dengan kemampuan masyarakat di sini. Mas kawin/bellis di Pulau Sumba sendiri jika dirupiahkan ada yang mencapai Rp500 juta. Biasanya, mas kawin tersebut terdiri dari sejumlah hewan ternak, seperti kambing, kerbau, babi, kuda, ayam dan lainnya. Pokoknya kalau dikumpulkan bisalah untuk memenuhi 1 kandang besar. Pada cerita Pak Dahlan Iskan sendiri dikatakan bahwa mas kawin disana ada yang berupa 200 ekor sapi.

Mas kawin tersebut memang tidak harus dibayarkan langsung seluruhnya. Bisa dicicil sampai dengan akhir hayat =)

Masalahnya adalah, dengan taraf hidup dan penghasilan yang relatif rendah, darimana mereka bisa mendapatkan sapi atau hewan ternak dengan jumlah sebanyak itu? Ya, jawabnya dengan mengambil milik orang lain. Ya, dengan mempertimbangkan taraf hidup, minimnya lapangan pekerjaan, tingginya pengangguran, dan mahalnya harga-harga di Sumba.

Itulah masalah budaya dan keamanan di Pulau Sumba. Bahkan saking rawannya pencurian hewan ternak disana, pencurinya akan memberi tahu anda pada siang hari bahwa pada malam dia akan mencuri ternak anda. Berani anda berjaga-jaga pada malam hari? siap-siap tangan atau leher kena tebas parang sumba yang terkenal tajam dan harus berlumur darah apabila dilepaskan dari sarungnya.

Tidak ada yang berani menindaklanjuti maling ternak tersebut, polisi, bupati, pemuka adat, dan orang manapun. Hal ini menyebabkan orang-orang disana semakin malas memilki ternak. La iya, ngapain mengembangbiakkan ternak kalau nantinya sama saja untuk diambil orang lain. Ini kalau di ekonomi disebut dengan vicious cycle.

Dari situ saya mengetahui bahwa, memang ternyata ada hubungannya antara sosial, ekonomi, budaya, dan keamanan. Ternyata hal itu tidak hanya ada di textbook pendidikan kewarganegaraan semata. =P

Jadi, kalau mengacu pada tulisan Pak Dahlan Iskan, kira-kira apa ya solusinya? Menurut saya, jawabannya di lapangan kerja. Kalau seseorang memiliki pekerjaan yang tetap, pastinya mereka tidak akan terfikir untuk melakukan hal-hal lain di luar pekerjaan mereka.

Memang susah kalau kita mau memulai dan membuka lapangan kerja di Sumba. Maaf, dengan tidak menafikan masyarakat di sana, kita ketahui bersama bahwa pendidikan di Pulau Sumba tidak terlalu bagus untuk membentuk tenaga kerja terdidik dan terlatih. Tapi ya itu harus diupayakan terus menerus.

Salah satu sumber lapangan kerja yang dapat diupayakan adalah lapangan kerja yang berasal dari rencana untuk pengembangan peternakan sapi yang dikelola secara modern oleh Perusahaan (bukan perorangan) dan peningkatan sektor pariwisata. Kalau untuk yang pertama saya rasa sedang diupayakan oleh pemerintah dan perusahaan. Untuk yang kedua, saya yang saat ini tinggal di NTT perlu bertanggung jawab untuk mendatangkan masyarakat berpariwisata dan berjalan-jalan ke NTT. Nanti akan saya bahas di tulisan lainnya =)

Pantai dan resort yang paling bagus di Sumba adalah Nihiwatu:

Nihiwatu_CNT_22March2013_PR_646x430

Ga perlu saya tulis panjang lebar, baca aja review-nya di sini. Di nihiwatu anda bisa surfing, yoga, offroad biking, kayak, berkunjung ke tempat-tempat eksotis, dan banyak lainnya =P

Kalau dari tulisan teman saya yang tahun 2014 lalu jalan-jalan ke Sumba, dapat dibaca di sini.

Kalau buat yang mau honeymoon, saya yakin Nihiwatu adalah tempat yang luar biasa top untuk dikunjungi =)

Demikian tulisan saya, semoga bermanfaat bagi teman-teman yang mau merencanakan untuk jalan-jalan #eh. Termasuk untuk mengingatkan saya sendiri bahwa analisis kita terhadap permasalahan ekonomi, perlu memasukkan faktor budaya, sosial, pertahanan, dan keamanan sebagaimana dulu pernah diajarkan dalam bagian pelajaran kewarganegaraan di sekolah dasar dan menengah.

Cheers =)

Advertisement