Salah satu hobi saya adalah membaca. Cukup banyak bacaan saya yang ditulis oleh penulis asing. Hal tersebut menyebabkan saya, sedikit banyak, terpengaruh oleh pandangan dari penulis-penulis tersebut.
Beberapa buku yang telah saya baca:
Di bidang keuangan, misalnya, influence dari Nassim Nicholas Taleb, Michael Lewis dan John Kay sangat mempengaruhi view saya. There is no free lunch, you cannot beat the market, random walk down wall street dan beberapa istilah keuangan lainnya pun turut saya pahami.
Saya yakin pembaca sekalian juga memiliki idola dari luar negeri yang juga menjadi influence dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu dari sisi gaya hidup, keuangan, fashion maupun lainnya.
Adanya pengaruh dari budaya luar (asing) tersebut ternyata sudah merasuk pada kehidupan sehari-hari kita. Sebegitu merasuknya sampai membuat kita lupa dengan kearifan lokal kita sendiri.
Adopsian budaya barat menjadi semakin dominan dibanding budaya lokal dari sisi food, fashion, art dan behaviour.
Saya baru menyadari hal tersebut, ketika beberapa hari yang lalu saya googling mengenai “konsultan McKinsey” yang dulu pernah menjadi salah satu impian saya (lihat di sini)
Dari hasil googling, saya akhirnya membaca salah satu blog milik anak muda, lulusan UGM, yang baru saja diterima menjadi konsultan di perusahaan tersebut.
Saya cukup terkaget ketiga membaca blog-nya dan mengetahui bahwa deskripsi blog yang bersangkutan yang menganut falsafah jawa yakni “Hamangku | Hamengku | Hamengkoni”. Jujur saya sendiri tidak mengerti arti falsafah jawa tersebut =)). Lebih kaget lagi ketika saya mengetahui bahwa yang bersangkutan sangat memahami budaya Jawa dan juga… Suka wayang!
Jarang banget ada anak muda yang memahami budaya jawa dan suka wayang namun punya impian dan bisa masuk McKinsey. Sekedar tahu, Orang-orang yang terpilih menjadi Konsultan McKinsey adalah orang-orang Kelas A. Saya sendiri-pun saat ini pastinya tidak diterima menjadi konsultan di McKinsey.
Setelah itu, saya pun jadi bersemangat mencari falsafah hidup dan budaya jawa. Kesimpulan saya adalah budaya asli kita tidak kalah dengan budaya asing, tergantung bagaimana kita dapat memilah dan memilih yang mana yang akan kita anut.
Bahkan ada beberapa falsafah jawa yang menurut saya juga sangat indah. Saya pun akhirnya mengerti arti Hamangku | Hamengku | Hamengkoni =)
Beberap falsafah lainnya misalnya:
Ngluruk Tanpa Bala, Menang Tanpa Ngasorake, Sekti Tanpa Aji-Aji, Sugih Tanpa Bandha: Berjuang tanpa perlu membawa massa, Menang tanpa merendahkan atau mempermalukan (pihak yang dikalahkan), berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/ kekuatan/ kekayaan/ keturunan, kaya tanpa didasari hal-hal yang bersifat kebendaan/materi.
Urip iku Urup: Hidup itu nyala, hendaknya kita memilih hidup yang memberi manfaat bagi orang lain di sekitar kita. Kian besar manfaat yang kita berikan kian baiklah pribadi orang itu.
Kita banyak melihat dan mengadakan TEDx dan melupakan bahwa kita punya budaya Wayang yang sebenarnya juga memberikan pelajaran dan insight dalam kehidupan kita.
Kita banyak berpedoman pada Sir John Maynard Keynes dalam mengelola perekonomian dan melupakan guru perekonomian kita yakni Bapak Moh. Hatta.
Saya yakin bahwa budaya kita yakni budaya Indonesia tidak kalah dengan budaya luar.
Saya pastikan bahwa saya akan membaca minimal satu buku terkait dengan kearifan budaya jawa ataupun budaya lainnya di Indonesia di tahun ini. Termasuk menyelesaikan novel “Bumi Manusia”-nya Pramoedya Ananta Toer.
Adopsi budaya tidak selamanya buruk, karena semua bentuk kebudayaan mempunyai manfaat positif, selama kita bisa menangkal dampak negatif yang mungkin muncul..
Oh iya, blog konsultan McKinsey tersebut dapat dilihat di sini
Selamat berhari minggu dan selamat berbudaya =)